Aku lahir dan besar di sebuah pulau bernama Surga (samaran) aku sudah bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang pariwisata di kota Bunga (samaran) di Indonesia. Aku sangat bahagia dengan pekerjaanku, yang merupakan pekerjaan impianku sejak aku SMP. Aku bergabung dengan perusahaan ini sudah berjalan 4 tahun lamanya. Bayangkan saja seorang extrovert bekerja sebagai seorang guide pasti sangat menyenangkan bukan? Karena ada banyak bule-bule (orang asing) yang menjadi temanmu dan tiap hari selalu bertemu dengan orang yang berbeda.
Bulan Februari 2020 aku dan timku menonton berita bahwa Covid-19 mulai menggerogoti di banyak negara dan kami semua tunduk berdoa serta saling menguatkan dan berpengharapan bahwa Covid-19 segera hilang dari muka bumi. Di bulan Maret semua informasi di media sosial semakin mencekam untuk dibaca dan ditonton serta membuat rasa takut semakin besar dari pada diri sendiri karena mikirin keluarga yang tersebar di seluruh negeri namun aku tetap berdoa kepada Tuhan yang Maha Esa.
Saat membuka media sosial aku melihat –tagar-tagar WFH (work from home) dan saat itulah supervisorku mengumumkan bahwa mulai besok resort akan ditutup total dan kami semua bekerja dari rumah. Aku menyambut kabar baru itu dengan sedikit lega karena aku juga takut naik gojek ke kantor dan duduk ramai-ramai di satu ruangan di kantor. Tak butuh waktu lama hanya 3 hari saja berbagai jenis perasaan mengajakku perang dengan diri sendiri. Aku bosan! Aku pengen keluar rumah dan jalan sama teman-temanku –situasi ini membunuhku. Aku jadi mudah marah sama barang-barang di indekosku, mudah nangis pas kangen makku dan abang-abangku di pulau.
Sembari aku perang dengan diriku sendiri handphoneku berdering karena ada beberapa kawan dekatku mengirim pesan lewat aplikasi WhatsApp. Mereka bilang kalau mereka dirumahkan tanpa digaji untuk bulan April sampai batas waktu yang belum ditentukan, dan ada lagi kawan indekos yang kerja di negara Kuntum (samaran) dipulangkan ke kota Bunga dan mereka tidak bisa pulang ke kampung halamanNya karena takut naik pesawat dan saat itu mulai beredar kabar bahwa pemerintah akan tutup semua akses transportasi laut dan udara. Akhirnya mereka bertahan dengan uang yang ada, makan pun apa adanya. Mendengar semua itu aku terdiam dan langsung nangis sambil liat cermin dan berkata, “Ada yang lebih parah dari aku ternyata” setelah itu aku mulai sadar diri dan mikir bagaimana cara aku bantu mereka tetapi saat itu aku juga nggak punya uang banyak karena aku harus mengirim uang untuk makku di kampung juga. Tiba-tiba perusahaanku memberikan sembako untukku dan aku bagikan kepada mereka. Walaupun sedikit, paling nggak bisa membantu keuangan mereka.
Tibalah bulan Mei dan aku baca diberita bahwa kota Bunga sudah menjadi zona merah dan di berbagai kota sudah ratusan yang terinfeksi serta para tenaga medis banyak yang meninggal, para pejabat banyak yang terinfeksi dan menyandang gelar baru yaitu OTG, PDP dan sebagainya. Aku memutuskan mengubah status kerjaku dari work from home menjadi unpaid leaves atau cuti tak berbayar. Dan aku ingin pulang ke pulau Surga karena pulau Surga di mana makku berada hanya 90 menit dari kota Bunga. Akhirnya aku pulang ke rumah, setibanya di rumah aku hanya berdiri di luar rumah sampai makku bilang begini, “Masolah kenape bediri aje?” (makku pake bahasa Melayu) aku menolak dan kujelasin ke dia siapa Covid-19 ini dan seperti apa cara penularannya dan beliau langsung masuk dan siapkan satu ember besar air sabun di kamar mandi untuk rendam pakaian yang kupakai saat itu dan dia juga dengan segera mengambil semprotan yang isinya cairan disinfektan (rupanya aparat desa memberi dia juga) dan menyemprot ke semua barang bawaanku, lalu aku masuk dan terus ke kamar mandi.
Kami tinggal di pulau Surga dan rumahku di hutan karena bapakku seorang petani beliau suka bercocok tanam. Kami punya banyak pohon kelapa, durian, manggis, rambutan, jengkol, petai dan masih banyak lagi. Di hari pertama itu juga aku langsung bilang ke semua keluargaku bahwa aku akan melakukan karantina mandiri selama 14 hari dan setelah itu aku akan lihat lagi kondisi kesehatanku sesuai dengan protokol kesehatan yang diumumkan di berbagai media informasi. Saat itu keponaanku sedih dan bertanya-tanya ke ibunya, “Kenapa adek tak boleh main sama tante Bu?” Aku menjelaskan semuanya kepada anak berumur 5 tahun ini siapa itu Covid-19. Mulai saat itu aku mejalankan rutinitas yang berbeda misalnya saat makan malam, aku makan setelah makku selesai makan dan selesai makan aku langsung cuci piringku, biasanya aku tumpuk sama piring bekas yang lainnya dan besok pagi baru dicuci (budayaku gak boleh cuci piring dimalam hari ☺). Tempat tidurku juga berbeda; yang biasanya tidur bersama makku sekarang aku tidur di ruang tamu. Siang hari aku mengisi waktu di kebun sayuran dan merawat 4 ekor sapiku, kalau capek aku pasang hammock (ayunan kain) di belukar dekat kebun dan tidur siang di sana. Ketika sore hari baru aku pulang ke rumah.
Kegiatan para penduduk di pulau Surga juga berbeda selama pandemi ini. Mereka biasanya menangkap ikan namun sekarang mereka memilih untuk stop dulu dan menunggu Covid-19 selesai (harapan mereka mungkin bulan depan ☹) karena tengkulak yang biasanya menampung ikan mereka tidak bisa mengekspor ikannya ke negara Kuntum yang mana negara itulah konsumen ikan terbesar dibandingkan penduduk sekitar pulau Surga. Di akhir bulan Mei pemerintah desa pulau Surga mengeluarkan perintah bahwa tidak boleh ada akses transportasi dari pulau Surga ke kota Bunga atau sebaliknya. Ini menjadi masalah besar bagi keluargaku dalam hal penjualan hasil kebun kami yang biasanya di jual ke kota Bunga. Selain itu stok makanan di warung dan kedai-kedai sudah menipis seperti garam, beras, minyak, sabun pokoknya bahan yang diproduksi di luar pulau Surga. Penduduk bingung dan para emak-emak mulai mengeluh akan kekurangan bahan makanan, ”Saye dah tak ade garam, gule, beras lagi di rumah Kak” artinya, “Di rumahku tidak ada garam, gula, dan beras Kak” dan ini disebabkan oleh orang yang berduit memilih memborong semua stok makanan sehingga yang tidak berduit tidak kebagian sama sekali. Hatiku hancur dan sedih luar biasa saat itu!
Jadi, aku dan makku pergi ke kebun kami untuk memetik daun singkong dan cabai rawit. Hasil kebun kami bawa ke kampung sebelah untuk diberikan kepada salah satu nelayan kecil yang sehari-harinya memancing ikan, mereka membalas pemberian kami dengan memberikan ikan hasil pancingan mereka untuk kami makan. Ketika aku mau membayar ikan tersebut nelayan tua itu berkata, “Nak, corona ini datang untuk menarik benang merah yang sudah di belok-belokan oleh manusia, jadi dia datang kasih lurus itu benang.” Artinya Covid-19 tidak menyerang orang-orang tertentu saja melainkan siapa saja. Jadi kita harus saling mengasihi sesama tanpa memandang bulu. Penting semua mahluk mulia di mata Pencipta-Nya. Di situlah jatuh air mataku ketika menerima ikan-ikan kecil itu. Oh Tuhan! Tidak harus sempurna untuk merasa bahagia dan menikmati hidup.
Tiga minggu berlalu akhirnya pemerintah membuka akses masuk kota Bunga untuk mengambil sembako saja. Penumpang kapal dan petugasnya tetap menjalankan protokol kesehatan. Ada beberapa nelayan yang sedang duduk berbincang-bincang bersama teman-temannya membicarakan pekerjaan apa yang bisa dilakukan kalau seandainya negara Kuntum belum juga membuka akses transportasi. Sebagian mereka sudah ada yang banting setir dari nelayan menjadi penoreh karet, membuka lahan untuk dipakai menanam tanaman dan ada juga yang masih duduk-duduk saja menunggu Covid-19 selesai baru mulai menangkap ikan lagi. Terkadang sulit dibilang karena bertani juga harus punya keinginan yang kuat tidak segampang menebar jaring lalu periksa hasilnya, dapat atau tidak.
Sekarang aku sudah kembali ke kota Bunga untuk melanjutkan work from home dengan hati yang penuh syukur dan damai. Pelajaran yang aku ambil disituasi saat ini adalah aku semakin mengenal diriku sendiri. Hidup itu indah jika aku mau hidup apa adanya tanpa memasang standar yang berujung menyiksaku karena tidak kesampaian, mengasihi dalam keadaan apapun, bersyukur dalam keadaan apapun dan Tuhan itu adil bagi umat-Nya. Kita saat ini seperti pakaian kotor yang sedang direndam pakai sabun dan disikat dari noda lalu dijemur dan kita percaya bahwa setelah dijemur kita akan dirapikan satu persatu lalu disimpan di dalam lemari dengan keadaan BERSIH dan WANGI! Saat itu akan tiba, jangan menyerah gunakan waktu ini untuk melihat noda apa yang kita punya dan harus siap dibersihkan.
Semangat kawan!
Oleh: Florensia Uba Doni