20 Februari 2020, tanggal yang cantik, bulan yang cantik di tahun yang cantik
pula. Saat itulah si cantik melepas masa lajangnya dengan dipersunting
jejaka tampan dari sebrang lautan. Cuti tiga hari aku lalui untuk merayakan
pesta pernikahan yang sungguh mewah dari kaca mataku. Lima ratus tamu
undangan dan sebuah gedung yang lumayan besar menjadi saksi
berakhirnya masa remaja kami berdua. Saat itu aku adalah ratu dan raja yang
sangat bahagia, teman kantor, teman sekolah, tetangga, dan kerabat
memberikan ucapan dan kecupan tanda selamat. Melayang semua harapan
dan cita-cita kami berdua. Dunia hanya milik berdua yang lainnya indekos.
Pembicaraanku sampai pada bulan madu yang tidak bisa kulaksanakan saat
itu karena cuti dari kantor hanya tiga hari, kami merancang mengambil cuti
lagi pas bertepatan dengan liburan idul fitri. “Kemana Mas Ben, Bali atau
lombok? Kalau bisa kita pesan tiket dari sekarang supaya tidak kehabisan.”
ucapan itulah yang masih terngiang sampai sekarang. Uang yang aku pinjam
dari kantor untuk biaya pesta pernikahan masih tersisa sedikit dan cukuplah
untuk bulan madu berdua, barang 3 sampai 4 hari saja. Orang tua pun
merasa senang karena bisa melepas masa bahagia anak sulungnya dengan
pesta pernikahan yang sebelumnya tidak pernah beliau impikan sebesar itu.
Orang tuaku tergolong keluarga tidak mampu, masih ada lagi tiga adikku yang
duduk dibangku sekolah. Ayahku satpam di sebuah hotel dan ibuku berjualan
kue, kadang dititipkan di warung tetangga terkadang juga menerima pesanan.
Alhamdulilah hidupku lumayan bahagia dan cukup sekadarnya. Walaupun
aku hanya tamatan SMK, tapi aku dipercaya memegang keuangan di sebuah
kantor percetakan pribadi. Suamiku juga bekerja di percetakan, tetapi
berbeda kantor. Seringnya kami bertemu dan bekerja sama dalam urusan
kantor hingga tumbuhlah benih-benih asmara. Tiga tahun kami saling
mengenal dan saling menjajaki masing-masing akhirnya di tahun 2020 ini,
kami resmi terikat menjadi suami istri.
Sungguh manis terasa kehidupan cinta kami, walaupun rumah kami kecil, tapi
tak apalah sementara menumpang di rumah orang tua. Kami memang
bercita-cita untuk menyewa rumah sendiri, sepertinya orang tua belum
memperbolehkan. “Daripada uangnya dipakai untuk sewa rumah, lebih baik
ditabung, kalian tinggal dulu bareng adik-adikmu.” itulah kalimat ibuku yang
selalu beliau ucapkan. Ibuku sayang, beliaulah penguatku, tempat curhatku,
tempatku mengadu, dan tempatku berbagi rasa, walaupun sekarang sudah
ada Mas Ben, tapi posisi ibu dihatiku tidaklah berubah.
Saat itu, Jakarta sudah heboh dengan ditemukannya kasus covid-19 yang
telah masuk ke Indonesia. Pemerintah mengumumkan PSBB untuk Kota
Jakarta, namun berimbas besar pula di kota-kota lain di Indonesia, termasuk
di kotaku, Yogyakarta. Kantor mulai sepi, orderan juga mulai jarang, biasanya
banyak orang memasukkan cetakkan undangan, poster, pamlet, kartu nama
dll. Sekarang kadang satu minggu hanya ada satu orderan itupun hanya
dalam partai kecil. Kami bertujuh dalam satu kantor mulai resah, akan ada
pengurangan pegawai karena masalah ini. Dugaanku tidak meleset, bos
menyampaikan surat pengurangan karyawan. Dengan berat hati kami yang
awalnya bertujuh tinggalah berdua, ada lima teman kami yag terkena PHK.
Alhamdulilah aku masih dipertahankan walaupun hanya diberi gaji pokok,
masihlah bisa untuk mengangsur hutangku pada kantor. Aku bahagia
walaupun sebetulnya nyesek harus kehilangan teman-teman kantorku,
kudoakan semoga kalian segera mendapat pekerjaan lagi yang lebih enak
dan banyak gajinya ya sobat.
Pukul 19.00 menjelang isya, Mas Ben belum juga sampai rumah, rasanya
ingin kutumpahkan rasaku padanya. Bahagiaku karena aku tidak kena PHK
dan sedihku kehilangan teman-teman yang baik yang sudah seperti
saudaraku sendiri.
“Mas Ben….kok belum pulang?” aku mencoba mengirim pesan lewat
Whatsapp, tetapi pesan tersebut hanya centang satu. Aku mencoba telepon,
nadanya tidak nyambung seperti HP yang dimatikan. Aku berdoa, bersujud
sambil memohon ya Rabb jagalah suamiku, Engkaulah sebaik-baik penjaga.
pukul 22.30 pintu rumah depan terbuka, alhamdulillah suamiku sudah pulang,
“Kok baru pulang, Mas?” tanyaku dengan suara rendah, namun tidak ada
jawaban dari Mas Ben, langsung masuk kamar dan merebahkan badannya di
kasur. Semetara bau rokok dibajunya sangat menyengat, tidak biasanya ia
merokok, baru kali ini kulihat muka kusut suamiku dan baju kucel. Aku dekati
dan kutanyakan, “Mas, kubuatkan Indomie ya….?” biasanya mendengar kata
indomie raut mukanya langsung sumringah, tetapi kali ini tidak dihiraukan
olehnya. Mas Ben tetap rebahan sambil matanya terpejam. Akhirnya aku
putuskan untuk tidur disebelahnya dan kubiarkan Mas Ben dengan diamnya.
Tidurnya pun tidak tenang, bolak-balik bahkan dengan nada yang kadang
mendesah. Akhirnya dia terbangun dan duduk disampingku. Dia memanggil
namaku, “Tik….” aku memcoba untuk bangun dan duduk di sebelahnya. Mas
Ben memelukku erat, bahkan sangat erat sampai aku tidak bisa bernafas, dia
menangis dan menangis. Hatiku bergetar melihat lelaki yang kuhormati,
kucintai menangis dipelukakanku. “Tik….” namaku yang selalu keluar dari
mulutnya, tidak ada kata yang lain. Ia menangis lagi. Kini agak kendur
pelukannya aku coba usap rambutnya dan kubiarkan dia menangis lagi. Aku
usap air matanya, aku ambilkan air minum supaya basah kerongkongannya.
Sekarang agak mereda, dia duduk lagi sambil berkata, “Maafkan aku, Tik”
aku semakin bingung mengapa dia meminta maaf. Selalu kata maaf yang
keluar dari mulutnya. Akhirnya hanya tiga kata yang keluar dari mulutnya,
“Aku terkena PHK.” rontok jantungku, lemas badanku, ketika aku merasa
bahagia karena tidak ikut terkena PHK ternyata suamiku sendiri terkena PHK.
Alhamdulillah aku bisa menguasai diriku, apa jadinya kalau aku ikut
menangis, ikut bersedih, ikut larut dalam dukanya, aku coba kuatkan suamiku
dengan kata-kata lembut dan usapan di rambutnya. “Percayalah Mas Ben,
ada rahasia Allah untuk kita, rahasia terindah yang Allah rencanakan untuk
kita berdua.” hanya kata itu yang dapat keluar dari mulutku saat itu. Kami
terdiam, dalam keheningan malam yang terbayang adalah gambaran suamiku
yang nganggur, hutangku yang baru saja berjalan, dan ada satu rahasia
besar yang aku juga belum tahu apa sesungguhnya rahasia itu.
Dua bulan sejak aku menikah dengan Mas Ben, baru sekali aku haid dan
bulan ini tamu rutinku belum datang, rasanya kepalaku berat, jantungku
berdegup kencang, badanku terasa ada yang menarik-narik. Aku masih diam,
belum berani kuungkapkan dengan siapapun, hatiku masing bimbang. Hanya
aku dan Dia, dikeheningan malam hatiku bicara, suaraku merendah, serak,
seraya memanggil-manggilNya. Air mataku tumpah ruah, membanjir,
menggenang, tidak bisa aku membendung. Nikmatnya setelah itu bagaikan
tertindih tumpukkan batu dan telah disingkirkan, kepalaku menjadi ringan,
badanku serasa melayang hal itulah yang kurasakan selesai bersimpuh
disepertiga malam, dan saat-saat itu selalu aku nantikan.
Dua minggu berlalu, aku belum berani megungkapkan hal ini pada Mas Ben,
melihat kondisinya yang belum stabil dan masih adaptasi dengan
kebiasaannya yang harus ngantor tiap hari, tapi kini hanya antarjemput diriku.
Dan setelahnya aku tak tahu apa yang dilakukan olehnya, disisi lain kedua
orangtuaku belum curiga. Kami tidak punya nyali untuk menceritakan hal ini,
terlalu berat disampaikan, beban hidup orang tuaku selama pandemi ini
sudah berat dan harus ditambah dengan ceritaku. “Ah…tidak usah tahu
beliau berdua, cukup aku yang menanggungnya.” Pikirku.
Ada apa denganku, di sampingku ada suamiku, ayahku, ibuku dan seorang
suster yang sedang mengukur tensiku. “Tensinya rendah 80/60,” kata suster.
Ternyata aku pingsan di tempat kerja dan bosku membawaku ke puskesmas
terdekat. Ya, lelah hati, lelah pikiran, lelah fisik semua aku rasakan, tapi
mengapa aku begini, kalau ternyata ada nyawa tak berdosa dalam perutku
yang harus aku jaga, aku lindungi, dan aku sayangi, lalu aku harus
bagaimana.
Aku mulai sibuk dengan banyak orderan begitu juga suamiku, bahkan ia lebih
sibuk lagi mengantar barang dan mengambil barang pesanan. Selama
pandemi ini banyak pedagang dan toko-toko tutup, tetapi kami membuka
orderan via online. Berbagai macam kebutuhan pokok kami layani, bahkan
orderan dari luar kota juga kami siap untuk melayani. Awalnya kami menjadi
penonton ketika teman-teman sibuk dengan status jualan online-nya, dan kini
kami ikut ambil bagian menjadi pemain di dalamnya. Senyum yang dulu
pernah kulihat kini mengembang lagi, Mas Ben, suamiku tersayang kini sudah
kembali lagi, kembali dengan senyum yang lebih melebar karena di perutku
tengah ada satu nyawa buah cinta kami yang membuat hidup kami semakin
berarti, semakin bersemangat. Aku berniat memberi nama bayiku Covida,
ataukah Corona kalau nanti bayi yang lahir adalah bayi perempuan, namun
aku merasa sedikit enggan memberi bayiku dengan nama seperti itu.
Ditulis oleh:
Purwanti Susilastuti
Bangunrejo TR 1/ 1690 Yogyakarta