Sekian tahun silam tepatnya saat saya menginjak bangku sekolah dasar (SD), saya
diberi tugas untuk mengamati perkembangan tumbuhan dengan membawa biji
kacang hijau, kapas, dan wadah. Ternyata kegiatan tersebut juga dilakukan pada
zaman sekarang, saat masa sekolah dari rumah, si Ade pun mendapat tugas
tersebut dari sekolahnya, akar tumbuh melati. Berbekal pengalaman tugas
sebelumnya yaitu menanam biji sawi yang sama sekali tidak ada perkembangan, (eh
sebentar, dimana letak pengalamannya jika tidak ada perkembangan?). Tugas kali
ini tergolong sangat mudah, lalu ada apa dengan toge? Cukup sebar biji kacang
hijau pada kapas basah, lalu lakukan penyiraman setiap hari dan amati apa yang
terjadi, jika semua hal telah dilakukan, langkah terakhir adalah berpasrah setelah
bertawakal. As simple as that, memang mungkin pendidikan sebaiknya disampaikan
dengan metode sederhana, seperti contoh biji Kacang hijau disiapkan, perawatan
dilakukan, insyaAllah toge didapatkan. Penasaran dipantik, fasilitas mendukung,
proses belajar didampingi, doa tak lupa dipanjatkan, semoga keberkahan ilmu
didapatkan.
Berkaca dari pengalaman menanam biji kacang hijau pada kapas basah tersebut,
para siswa bisa mengamati sendiri terkait ilmu biologi, tentang bagaimana tahapan
perkembangan yang dialami oleh tanaman. Anak didik juga dapat belajar tentang
proses yang mana tahapan demi tahapan haruslah dilewati. Dalam hal apapun tidak
ada yang instant, tidak ada yang langsung jadi di dunia ini, apapun bentuknya,
bahkan untuk menikmati mie instant saja tidak instant. Perlu berjalan menuju ke
warung untuk membelinya, ketika membeli juga perlu memantapkan hati akan
memilih rasa yang pernah ada dan ingin diulang kembali kenikmatannya, atau ingin
mencoba rasa baru sebagai variasi. Dalam hidup yang terkadang terlalu monoton
setiap harinya, padahal scenario Tuhan adalah yang terbaik untuk Hamba-Nya.
Setelah mantap menentukan, mie yang terpilihlah yang akan dibawa ke kasir untuk
dibayar, tahap selanjutnya barulah pulang untuk mulai memasaknya. Persiapan
memasak juga perlu dilakukan, pilih alat masak yang akan digunakan, isi air sesuai
keperluan, jangan berlebihan, because too much of something is bad enough,
jangan kurang, ambil secukupnya saja, kompor dinyalakan, semoga gas masih ada.
Mulailah memasak dengan mengikuti cara memasak yang tertera pada kemasan,
tetapi seringkali dilewatkan begitu saja. Rebus mie sesuai selera, ingin mie yang
agak crunchy atau mie yang lembut sehingga lebih mudah dikunyah. Eh tapi
biasanya proses memakan mie itu memang tanpa dikunyah dengan ideal yaitu 32x
seperti seharusnya. Langsung slruupp… langsung terasa enaknya (micin manakah
yang tidak enak rasanya?), langsung kenyang, langsung mengantuk (dari kenyang
timbullah mengantuk, hal ini ternyata penyakit umum ya). Proses memasak mie pun
berlanjut seterusnya. Proses tersebut tetap panjang, meskipun hanya sekedar untuk
menikmati semangkok mie (yang konon disebut instant). So, instant itu tidak benar
adanya.
Saat work from office, apalagi untuk para senior yang sudah tinggi jam terbangnya,
mengajar di kelas menjadi hal yang sangat mudah. Ambil buku, ceritakan resume,
sampaikan contoh kasus, minta mahasiswa untuk mengerjakan tugas dan kuliah pun
selesai. Namun akan berbeda ceritanya jika menyambung proses belajar yang
sederhana selama #dirumahsaja. Para Pengajar makin belajar dari Work From
Home, hal ini dilakukan karena untuk bisa mengajar harus mempunyai ilmunya
terlebih dahulu. Sebelum menyajikan materi kuliah, video tutorial ataupun
semacamnya, sang penyaji perlu mengerti apa yang hendak disampaikan,
sebagaimana saat mengamati biji kacang hijau, referensi milestone perkembangan
juga diperlukan untuk mengetahui bagaimana tahapan yang ideal. Walaupun tetap
perlu disadari, ideal itu relatif. Demi para mahasiswa tetap kuliah walaupun daring,
para dosen rela menjadi sutradara, tiap hari menulis script, dan juga menjadi actor
yang tiap hari rekaman. Kalau sebelumnya browsing untuk memperkaya
pengetahuan terkait perkembangan ilmu terkini, sekarang ditambah juga dengan
pengetahuan teknis bagaimana mendapatkan pencahayaan yang cukup saat
rekaman di dalam ruangan misalnya atau bagaimana cara memperoleh rekaman
tanpa ada suara dari lalu lalang kendaraan di jalan raya depan rumah, ditambah
menjadi penyunting rekaman supaya hasil rekamannya lebih mudah dinikmati dan
tetap dapat menyampaikan pesan, sehingga tidak hanya terpendam dalam hati.
Dari work from home, semua pihak pun berguru, kesabaran adalah kunci nomor
satu. Walau sudah dijaga supaya kapasnya tetap basah dengan cara disirami setiap
hari, menanti adanya perkembangan tetap membutuhkan kesabaran. Hari pertama
baru mulai pecah kulit bijinya. Hari kedua mulai muncul tunas dan akar yang
mendorong ingin keluar dari biji. Hari-hari selanjutnya panjang tunas dan akar
semakin tinggi, ada tunas yang menjadi perhatian, ada juga penambahan Panjang
akar yang tidak terlalu terlihat. Tapi sejatinya, itulah Pendidikan. Kuncinya ada pada
penambahan ataupun perbaikan. Jika sebelumnya tidak tahu sekarang menjadi
tahu, yang sebelumnya hanya biji kini menjadi ada penambahan tunas dan akar.
Walau sudah diberi tindakan yang sama, kapas basah yang sama, sinar matahari
yang sama, tapi respon masing-masing biji kacang hijau tidaklah menunjukkan
perkembangan yang sama. Bandingkan dengan diri sebelumnya, bukan dengan diri
orang lain. Butuh kesabaran untuk menerima penambahan yang mungkin terkesan
hanya sedikit saja.
Sekolah dari rumah, sungguh mengembalikan hakikat Pendidikan. Orang tua dan
keluarga kembali mengambil peran menjadi guru pertama dan utama. Semua
belajar. Saat sebelumnya ada yang menyerahkan anaknya kepada sang guru, kini
kenyataan berbicara bahwa semua orang adalah guru, semua turut andil
mengajarkan ilmu. JIka sebelumnya ada yang lepas tangan setelah mengantarkan
anaknya ke sekolah, sekarang semakin menyadari bahwa semua tempat adalah
sekolah, semua ikut berperan. Tidak etis lagi jika hanya menyalahkan pihak guru di
sekolah saja, saat si anak terkesan ‘bandel’, padahal sejatinya tidak ada anak
‘bandel’, mereka hanya perlu diarahkan sesuai bakat dan minatnya. Pengaruh
keluarga terutama orang tua semakin nyata adanya. Orang tua mengatur satu anak
saja lumayan menghabiskan energi, apalagi sekian murid di dalam kelas dengan
berbagai macam tipe kepribadian, sebagaimana biji kacang hijau yang mencapai
tahapan perkembangan yang berbeda satu sama lain, seperti yang setiap hari
dihadapi para pendidik di sekolah.
Terima kasih Corona telah memaksa kami untuk berinovasi dengan tetap
menjalankan pendidikan tanpa keluar rumah. Terima kasih juga telah membukakan
hati bahwa menjadi guru di kelas tidaklah semudah menjentikkan jari tangan. Terima
kasih sudah mengingatkan kembali bahwa ilmu bisa didapatkan setiap hari, dimana
saja dan dari siapa saja. Terima kasih sudah membuat kami lebih mengerti arti
kesabaran, termasuk juga sabar dalam menjaga kebersihan, dari mulai kebersihan
tangan sampai kebersihan hati. Ikhlas menerima kondisi dengan tetap berusaha
semaksimal mungkin. Terima kasih sudah mengembalikan kembali gaya hidup yang
sederhana, membeli apa yang menjadi keperluan saja, bukan untuk memenuhi
semua keinginan yang terkadang membumbung tinggi tanpa henti.
Untuk semua para penuntut ilmu, termasuk orang tua dan juga guru, semoga semua
usaha, keringat dan air mata menjadi pemberat amal kebaikan di kemudian hari.
Tetaplah bersemangat walau tak tahu sampai kapan kita masih ada sempat. Teriring
doa sepenuh cinta, Mari bersama kita bangun bangsa demi masa depan yang lebih
cerah. Semoga sehat semua.
#writingishealing