oleh: Dien SA
Namaku Citra (bukan nama sebenarnya). Tahun ini, aku diberi kesempatan olah Allah SWT untuk melanjutkan studi S3. Cita-cita untuk melanjutkan studi sudah lama sebenarnya. Setelah lulus S2, saat itu aku langsung ingin melanjutkan S3. Tetapi apa daya, passpor hijau dari teman hidupku belum aku dapatkan. Apa dia egois? Actually, tidak. Imamku adalah orang yang sangat men-support diriku. Aku sangat memahaminya, karena saat itu, buah cinta kami masih kecil-kecil. Aku tidak boleh dan tidak bisa bersikap egois dengan mengedepankan sekolah yang mungkin akan berdampak mengorbankan masa-masa kecil buah cinta kami, yang mana mereka masih sangat membutuhkan perhatianku. Ridho Allah… ridho suami, kata-kata itulah yang aku ucapkan dalam diriku, untuk menenangkan hati ini.
February, 2020
Seperti biasa, hari-hariku disibukkan oleh kegiatan sebagai wanita bekerja, sosial, sekaligus ibu rumah tangga. Satu minggu sebelum keberangkatanku menuju negara persemakmuran Inggris ini, aku berharap bisa sedikit rehat dan membereskan urusan domestic rumah. Rencana tinggal rencana. Sampai H-1 sebelum keberangkatanku aku masih sibuk. Aku tidak cukup waktu untuk menyiapkan barang yang perlu aku bawa. Secara garis besar, barang-barang yang penting sudah aku siapkan. “Ah, suami akan menyusul nanti…jadi barang-barang lain bisa sekalian dibawakan”, pikirku. Kami pun memiliki rencana, bahwa anak-anak akan berlebaran di sini atau sebaliknya aku yang pulang menengok anak-anak. Hari terakhir sebelum berangkat, aku pun masih harus mengikuti ujian sertifikasi kompetensi project manager IT. Sore hari baru bertemu anak-anak dan malamnya berkemas-kemas.
Keberangkatanku diiringi tangisan putraku yang masih kecil. “Bunda…cepat pulang ya,….”, ucapnya, sambil memeluk diriku erat-erat dan tak mau melepaskan. “Cepat pulang ya, Bun…,” ujarnya berkali-kali. Sambil menenteng bawaan menuju taksi yang akan mengantarkanku ke bandara, kuperhatikan satu persatu wajah anakku yang sulung, wajah si kecil, dan wajah teman hidupku. Anakku yang sulung terlihat lebih tegar dari luar. Dia mengenakan seragam sekolah sambil melambaikan tangannya. Seperti biasa, dia harus mempersiapkan diri untuk berangkat sekolah setelah shalat subuh. Pukul 05.15 WIB si sulung sudah harus berangkat dengan jemputan sekolah. Seringkali diriku merasakan berat bebannya untuk berangkat pagi, tapi itulah hidup yang harus dijalani. Kondisi Jakarta dengan kemacetannya, serta keinginan untuk belajar di sekolah unggulan, menyebabkan kami harus mengambil pilihan itu. Harus memilih pilihan yang terbaik dari semua pilihan yang ada, meski itu tidak mudah. Insya Allah, Allah SWT akan memberikan buahnya pada waktunya.
Kuperhatikan wajah teman hidupku, yang berperan menjadi imamku, sahabatku, kakakku, dan pengganti ayahku. Kulihat air mata bening menetes di pipinya yang putih. Aku tahu, ini adalah keputusan besar yang harus kami jalani untuk tinggal berjauhan. Dalam hati dan sholatnya, ku tahu dengan pasti dia tak henti-hentinya akan mengirimkan doa untuk mengiringi langkahku.
Di dalam pesawat yang mengantarkanku, terbayang-bayang wajah keluarga kecilku saat mengantarkanku tadi, khususnya wajah si kecil. Hatiku serasa ingin meledak. Sambil melihat pemandangan dari dalam jendela, pikiranku jauh melayang. Mulutku berkomat-kamit, kulafalkan dzikir dan doa untuk keluarga kecilku sampai akhirnya aku tertidur. Ku tersadar dari tidurku saat mendengar suara kapten pesawat yang menginformasikan pesawat hendak mendarat.
Drama baru di mulai ketika sampai di bandara international. Hal yang pertama kali kulakukan ketika tiba di bandara adalah mendatangi counter sim card. Hal ini kulakukan untuk memudahkan komunikasi anggota keluarga dan yang lainnya dengan biaya terjangkau. Begitu sampai di bagian imrigrasi, aku menemui sedikit masalah. Karena merasa sudah memiliki SEV, tak pernah terpikir dalam benakku, petugas akan menanyakan surat imigrasi. Saat itu, aku tidak menyiapkannya, karena surat dari pihak imigrasi sudah kuserahkan saat mengurus SEV. Dengan tak diizinkannya masuk, hati ini mulai panik. Dalam kondisi tersebut, akhirnya aku pun memilih menepi ke pinggir dan berfikir dengan tenang. Kuhubungi satu persatu kawan-kawan yang aku sendiri pun tidak mengenal wajahnya. Aku hanya berkenalan secara virtual, lalu kuceritakan kondisiku dan mereka pun memberi dukungan padaku. Akhirnya, kudatangi kantor pejabat imigrasi dan kutunjukkan bukti surat imigrasi via aplikasi. Pejabat imigrasi melayaniku dengan ramah, tak sesangar di bagian imigrasi. Akhirnya aku diizinkan untuk masuk negara ini. Setelah 3 jam dari waktu turunnya pesawat, aku akhirnya bisa keluar dengan tenang dan menuju baggage claim. Sesampainya di tempat pengambilan bagasi, kulihat tidak ada antrian satu orang pun. Kutelusuri satu persatu, tapi tak kutemukan koper hijau pupusku maupun orang lain. Sepi, sunyi. Akhirnya, kuterima koper hijau pupusku setelah kudatangi petugas untuk menanyakan koper dengan menyebutkan nomor penerbangan. Koper hijau pupusku terpaksa diamankan karena terlalu lama sendirian tanpa ada kawan koper yang lain.
Hari demi hari di sini kulalui dengan semangat. Mulai dari bertemu dengan SPV, hadir dalam pertemuan pelajar internasional, berinteraksi dan bersilaturahmi dengan pelajar internasional yang lain, serta menyusuri kampus dan kota tempat tinggalku sekarang. Terus terang, aku menyukai kegiatan menyusuri kota ini. Kota yang nyaman untuk jalan kaki. Di sepanjang jalan, pejalan kaki dapat menikmati pemandangan yang elok, perumahan yang teratur, pepohonan yang rindang dengan diiringi suara burung gagak yang beterbangan dengan bebasnya. Kota yang tidak terlalu bising dan aman. Seandainya Jakarta seperti ini, alangkah nikmatnya…..
Maret, 2020
Aktivitas belajar mengajar telah berjalan. Banyak hal di kampusku membuatku nyaman dan semangat untuk belajar: laboratorium dengan peralatan yang canggih dan lengkap, perpustakaan yang sangat nyaman dan kondusif, fasilitas yang menunjang, pemandangan yang indah dengan kontur tanahnya naik turun, teman-teman dari berbagai negara dengan kultur dan karakternya masing-masing, profesor yang sangat perhatian, sharing full materi, open mind dalam berdiskusi tanpa rasa ewuh pakewuh. Seperti pagi ini, para pelajar sedang menunggu free bus untuk mengantarkannya sampai ke fakultas masing-masing, merupakan pemandangan yang rutin kutemui. Mereka dengan tertib dan sabar menunggu free bus di halte yang telah ditentukan dan turun di halte tujuan sambil mengucapkan ucapan terimakasih. Contoh sederhana ini merupakan implementasi dan wujud nyata rasa saling menghargai meski pada petugas/sopir, yang mungkin mulai jarang kita temui di kota-kota besar. Tanpa peran-peran mereka semua, kita akan kesulitan untuk melakukan aktivitas. Yaa… di sini harus terbiasa berjalan kaki, karena bus tidak akan menurunkan penumpang di sembarang tempat.
Aku tinggal di sebuah flat bersama pelajar internasional lainnya. Pada umumnya, setiap kamar diisi lebih dari satu orang. Yeah…sharing room. Kami belajar berinteraksi, sharing, dan memahami kultur dan kebiasaan mereka. Untuk yang tidak biasa tinggal dalam sharing room, mungkin akan berasa sulit pada awalnya. Tapi percayalah, selalu ada keseruan dan hikmahnya dalam bersosialisasi. Selain belajar, aku ikut berorganisasi dengan pelajar Indonesia atau biasa dikenal dengan nama Persatuan Pelajar Indonesia (PPI). Nah, disini…kami bisa saling berbagi informasi, mengusulkan ide gagasan, membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh teman-teman saat studi di luar negeri, dan sekaligus memberikan kontribusi. Menurutku, orang yang beruntung adalah orang yang bisa memberikan manfaat dan kontribusi dalam hidupnya.
Tinggal di flat ini, aku serasa tinggal di dekat Masjidil Haram karena memiliki kemiripan nuansanya.Masjidil Haram dikelilingi bangunan-bangunan tinggi di sekelilingnya. Mulai Zamzam Tower, Hotel Hilton, Daar Hotel, serta hotel yang lain. Dari bangunan-bangunan tersebut kita bisa melihat Masjidil Haram dan Ka’bah. Burung-burung berterbangan bebas di kota suci tersebut. Seperti itulah, suasana sekitar flat kami di sini. Pemandangan flat kami adalah masjid besar, yang terkenal di wilayah ini. Di sekeliling masjid pun berhamparan flat, apartemen, dan kondominiun. Burung gagak hitam nan besar beterbangan bebas sambil menyanyikan suaranya yang khas.
Di suatu petang, aku bertanya pada salah seorang housemate, saat aku melihat dia berbelanja banyak barang untuk kebutuhan dapur. Housemate tersebut menjawab bahwa dia cenderung malas untuk keluar bila belanja sedikit-sedikit. Aku pun tak memiliki firasat apapun sampai akhirnya berkunjung ke pusat pembelanjaan karena stok makanan telah habis. Betapa kagetnya, saat mengunjungi tempat belanja tersebut. Banyak stok barang yang kosong. Kembali aku berfikir positif, mungkin para pelajar pada belanja banyak kebutuhan. Maklum, tempat perbelanjaan ini memang favoritnya para pelajar, tempat belanja yang bersih, dekat, cukup lengkap, dan murah.
Siaran mengenai kondisi pandemi Covid-19 secara live, berita terkait pandemi Covid-19 di internet, sharing informasi melalui berbagai media sosial, sosialisasi masa pandemi Covid-19 yang juga dilakukan melalui sms gateway serta patroli keliling petugas, menjadi berita yang paling hangat mengiringi masa lockdown. Para pelajar yang bisa pulang kembali ke tanah air atau ke kampung halamannya masing-masing segera memesan tiket untuk pulang. Kampus pun mengintruksikan semua asrama untuk pelajar undergraduate dikosongkan. Tak terkecuali para housemate di flat kami. Sedangkan pelajar internasional yang tidak mungkin pulang harus sabar dan tinggal di negeri ini sampai batas waktu yang kami sendiri pun belum tahu pasti kapan pandemic Covid-19 akan berakhir. Tapi kami percaya, negara pasti memiliki solusi yang terbaik untuk rakyatnya, dan kita semua wajib mematuhi kebijakan yang diambil.
Terbayang wajah si sulung dan si bungsu silih berganti. Rasa kekhawatiran jelas tidak dapat aku sembuyikan. Saat itu, sekolah di tanah air tercinta masih berlangsung. Aku pun segera membuat aturan/rule yang sistematis yang harus dilakukan oleh seluruh anggota rumah. Membuat aturan merupakan hal yang tidak terlalu sulit. Yang sulit adalah membentuk rasa kesadaran pada diri masing-masing, yang tidak bisa kupantau dari jauh. Kebetulan kami ada grup komunikasi untuk anggota keluarga. Semua aturan baru, kebijakan baru di dalam rumah, aktivitas baru yang harus dilakukan oleh masing-masing anggota rumah, kami share melalui grup tersebut. Dan tak lupa kukuatkan doa, karena hanya pertolongan-Nya yang bisa membantuku dari jarak jauh ini.
Aku pun sering menyuarakan masukan lewat forum orang tua murid, salah satunya adalah kegiatan yang berencana mengundang banyak orang di sekolah dan pelaksanaan proses belajar online. Proses belajar online merupakan topik hangat yang banyak dibicarakan di antara para orang tua murid. Banyak hal yang melatar belakanginya. Mulai dari kebijakan, ketidaksiapan sarana, ketidaksiapan guru, ketidaksiapan orang tua murid, ketidaksiapan dan perilaku anak, serta bentuk yang tepat dan sesuai untuk pembelajaran online. Belajar online secara serentak untuk seluruh tingkatan usia merupakan hal yang pertama kali, sehingga masih meraba-raba.
Sama halnya dengan para orang tua yang lain, aku pribadi pun tetap meluangkan waktu untuk mendampingi anak-anak meski kami berbeda negara. Seminggu pertama yang kurasakan adalah aku melihat proses belajar online ini melelahkan bagi semua pihak, khususnya orang tua murid. Banyaknya keluhan yang disampaikan orang tua murid melalui whatsapp dan keluhan anak-anak yang tidak bisa aku abaikan menunjukkan proses belajar online tersebut sangat memberatkan. Aku pun juga merasa, pastinya para guru pun memiliki beban, target dan tuntutan dari pihak sekolah terkait belajar online ini. Di situlah aku bersuara untuk memberi masukan. Hampir setiap hari aku memberi masukan ke guru wali kelas (walas), bahkan seringkali telpon sampai malam ataupun mencoba tools bersama dengan guru walas dalam jarak jauh untuk memastikan pembelajaran esok untuk anak berjalan dengan lancar. Masukan ini semata-mata untuk perbaikan agar belajar online ini lebih tersistematis. Tidak mudah memang bagi para guru-guru dan sekolah. Demikian pula tidak mudah bagiku untuk memberi masukan, karena bisa jadi masukan ini tidak sesuai dengan pendapat dan kondisi pihak lain, tetapi hal itu tetap aku lakukan. Minggu kedua, aku merasa belajar online masih terasa memberatkan bagi semua pihak, tetapi pelaksanaanya lebih baik daripada pelaksanaan belajar online di minggu pertama. Dengan seiring berjalannya waktu proses belajar online, masukan demi masukan tetap kami berikan, serta guru wali kelas mau menerima semua masukan, semakin hari proses belajar online semakin terasa lebih nyaman. Aku sangat berterimakasih dan bersyukur, putra kami memiliki guru wali kelas yang sabar dan menerima semua masukanku dengan baik.
Sebenarnya apa sih yang membuat belajar online terasa berat? Pertama, di awal–awal proses belajar online, informasi penyampaian aktivitas harus disampaikan melalui grup whatsapp. Menurut aku, grup whatsapp bukan merupakan sarana yang tepat. Kenapa? Karena orang lain bisa menginformasikan apapun dan informasi penting akan tergulung. Selain itu, tidak setiap saat orang tua murid akan cek whatsapp, sehingga hal itu yang menyebabkan masih ada proses belajar atau hal yang belum diselesaikan oleh siswa sampai malam. Orang tua murid sangat khawatir bila belum mengumpulkan tugas yang diberikan sehingga tidak mendapatkan nilai. Kedua, para guru seringkali mengirimkan informasi aktivitas yang harus dikerjakan oleh siswa tidak di awal waktu. Hal ini semakin menambah beban stress orang tua murid. Aku paham, para guru pun memiliki tugas dan kesibukan yang tak kalah penting dan pening di rumah. Tetapi profesionalitas tetap harus dijaga. Ketiga, bentuk aktivitas yang disampaikan. Seringkali bentuk aktivitas yang diberikan berisi tugas dan tugas. Hal itu menurut aku juga kurang tepat. Belajar online bukan berarti harus berisi tugas dan tugas lagi. Keempat, bentuk aktivitas harus memperhatikan waktu dan goal dari aktivitas yang diberikan. Contohnya, bila 1 mata pelajaran hari itu adalah 60 menit, berikanlah beban aktivitas yang bisa dikerjakan siswa dalam waktu 60 menit. Apakah setelah itu harus difoto dan dibuat video, harap disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai. Aku perhatikan dalam satu hari ada 4 mata pelajaran. Kalau tiap mata pelajaran ada tugasnya, ada fotonya, serta ada videonya, atau bahkan ada pertemuan melalui zoom di samping tugas, terbayang bagaimana repotnya orang tua. Oleh karena itu perlu dikoordinasikan dengan wali kelas. Akan digunakan untuk apakah semua foto masing-masing pelajaran dan videonya. Apakah sekedar kelengkapan administrasi? Aku tidak menampik, guru-guru sering memiliki beban administrasi, sehingga pada tuntutan administrasi itulah energi akan habis dibandingkan dengan fokus pada perkembangan siswa dan pembelajaran. Kelima, berkaitan dengan nomor empat, apakah para guru cukup waktu untuk melihat semua foto, tugas, dan video? Sehingga sampai tidak sempat memberikan feedback dan bahkan mungkin tidak sempat membuat daftar siswa mana saja yang sudah mengikuti kegiatan dan yang belum. Hal ini perlu digali lebih lanjut. Pemberian feedback merupakan salah satu wujud untuk melihat atau mengukur pemahaman siswa pada setiap materinya. Jadi proses pemberian feedback yang ditindaklanjuti dengan pembahasan merupakan hal yang tidak dapat dilewatkan. Keenam, masalah sarana dan tools. Perlu diperhatikan, apakah setiap orang memiliki sarana yang memadai, akses internet, serta penguasaan menggunakan tools. Perlu persiapan sebelum pihak pengajar dan orang tua menggunakannya. Demikian pula, sebaiknya antar pengajar menggunakan tools yang sama untuk mengurangi beban, baik beban memori maupun beban orang tua murid untuk mengeksplorasi penggunaan tools baru. Ketujuh, sekolah perlu membuat desain proses pembelajaran online yang sistematis, sehingga pembelajaran online ini tidak terkesan memindahtugaskan dari peran guru pada peran orang tua murid. Buatlah proses belajar online seperti di sekolah. Di awali administasi kehadiran (bila dirasa dibutuhkan). Misal siswa, harus absen melalui google form sebelum belajar di mulai. Setelah itu lakukan pembelajaran online, menerangkan seperti di kelas, ataupun mengimplementasikan metode pembelajaran lain sesuai kebutuhan. Proses belajar online selesai sesuai waktu yang ditentukan, sehingga tidak menyisakan banyak tugas ataupun banyak PR, serta tujuan dan target pembelajaran tercapai. Aku rasa, anak akan senang, anak pun memiliki waktu yang cukup untuk istirahat, serta tidak jenuh dengan banyaknya tugas. Orang tua murid juga senang karena sebagian besar keluhan orang tua murid adalah orang tua murid merasa terbebani, terutama orang tua murid yang memiliki anak yang masih balita dan kesulitan ekonomi. Guru pun tidak terlalu dibebankan untuk menelusuri kelengkapan dari foto atau video yang dikirimkan ataupun administasi, tetapi lebih berfokus pada penyampaian materi dan pengajaran. Pembelajaran online tidak semudah yang dibayangkan, perlu didesain dengan baik agar tujuan pembelajaran online tercapai. Kedelapan, orang tua terkadang merasa kesulitan dan tidak sabar menghadapi perilaku anak. Kepribadian anak, tidak bisa dibentuk dalam waktu yang singkat. Polah asuh dari sejak kecil sangat berpengaruh terhadap kepribadian anak. Jadi, bila anak kita bermasalah, para orang tua perlu mawas dan mengintropeksi diri, bukan menyalahkan sang anak, sehingga bisa melakukan pendekatan dengan cara yang lebih tepat.
Berbeda halnya dengan proses belajar online di sekolah si sulung. Pembelajaran online di tempat si sulung relatif tidak menghebohkan. Hal ini terjadi karena pada tingkat SMP, usia anak SMP lebih matang. Di samping itu sarana lebih siap, desain belajar online lebih siap, demikian juga dengan kesiapan para guru.
Apa yang aku lakukan selama proses belajar online ini? Aku pun tidak lepas tangan dalam pembelajaran online, meski lokasi kami sangat berjauhan. Aku pun sama seperti para ibu yang lain, yang mendampingi anak-anak dalam masa pembelajaran online. Karena saat itu, pelaksanaan belajar online, terutama di sekolah si bungsu, awal-awal masih banyak kendala. Aku membuat kesepakatan jadwal dengan anak-anak. Kedua putraku biasa dengan jadwal yang kami berikan dari kecil, sehingga mereka pun terbiasa membuat jadwal sendiri selama masa liburan. Meski aku sibuk, aku tahu aktivitas mereka sehari-hari, dan mereka pun terbiasa melakukan aktivitas serta bertanggung jawab terhadap hal yang mereka lakukan. Dan aku akan me-review-nya.
Untuk me-review aktivitas belajar online, aku menggunakan video call dan zoom, dilihat dan disesuaikan dengan kebutuhan. Aku melakukan skimming maupun scanning terhadap buku materi anak melalui video call. Tidak mudah memang, bahkan seringkali membuat kepala kita pusing karena keterbatasan ukuran layar dan fokus kamera. Untuk mengetahui pemahaman si anak, aku seringkali memberikan pertanyaan yang berhubungan dengan materi secara lisan. Untuk pembahasan materi analisa soal matematika yang sulit, aku uraikan lewat tulisan. Setelah itu aku foto dan aku kirimkan via handphone. Setelah sang anak menerima foto uraian analisa soal matematika, sambil mereka memperhatikan foto tersebut, sembari aku terangkan tahap demi tahap. Bagaimana bila anak mendapatkan tugas dari sekolah yang bersifat praktek? Aku pun juga me-review-nya. Sebagai contoh, waktu si bungsu mendapat tugas pidato dalam bahasa Inggris, hasil rekaman video pidato dalam bahasa inggris dia kirimkan ke bundanya. Lalu aku memberikan feedback, kemudian dia kembali mengulang dan memperbaikinya sampai aku nyatakan ok. Apresiasi terhadap usaha-usahanya senantiasa aku berikan untuk membangkitkan semangat dan usaha untuk lebih baik lagi. Aku pun membuat catatan yang berisi list harian beserta progress masing-masing anak untuk memudahkan aku mengontrol dan memantau kesulitan mereka ataupun pekerjaan sekolah yang belum mereka kumpulkan.
April, 2020
Per 1 April 2020, kompleks perumahan kami memberlakukan larangan bekerja untuk khadimah (asisten rumah tangga), sopir, tukang bangunan, tukan kebun yang sifatnya pulang pergi atau tidak menetap tinggal dalam rumah pemilik. Alhasil, kedua jagoan aku dan suami harus berjuang sendiri mengurus rumah, termasuk memasak, membersihkan rumah, mencuci dan menyeterika. Terbayang olehku, betapa seru, ramai kesibukan, dan suasana rumah. Tapi itulah yang harus kita tanamkan pada anak-anak, bahwa anak-anak juga harus berlatih kemandirian dan belajar hidup. Terbayang olehku pula, betapa sangat sibuknya suamiku, yang harus mengurus proyek-proyeknya dari jauh, me-manage anak buah dan anggota tim, stakeholder, serta mengurus anak-anak dan rumah.
Selain komunikasi keluarga secara harian, aku pun melakukan komunikasi bersama melalui zoom, video call, maupun skype seminggu sekali atau berdasarkan request, agar masing-masing anggota keluarga tidak merasa kehilangan kebersamaaan, komunikasi, bercanda bersama, dan bercengkarama bersama. Dalam forum itulah kami, menuangkan perasaan, keinginan, harapan masing-masing.
Bulan April ini, sebenarnya aku memiliki agenda seleksi beasiswa, tetapi dengan kondisi pandemi proses seleksi beasiswa pun mengalami penundaan. Untuk teman-teman yang hendak sekolah lanjut dan berburu beasiswa, hayoo tetap semangat….Saat memutuskan untuk studi lanjut, memilih universitas sebagai tujuan kita studi perlu dipertimbangkan dengan baik. Salah satu hal mengapa aku memilih studi di sini, selain program studi bidangku adanya di sini, clustering research, publikasi, dan jumlah SPV pada bidang sejenis, serta hal lainnya, aku perlu mempertimbangkan pula keberlangsungan studiku saat terjadi kondisi yang tidak diinginkan. Sedangkan untuk keseharian, aku lebih sering memasak sendiri. Selain lebih murah, aku perlu menghibur diri agar tak jenuh dengan berkutat jurnal. Sekalian juga promosi, karena ternyata banyak kawan dan housemate yang suka masakanku. Lumayan bisa untuk tambah-tambah beli kertas dan tinta, hehehe. Pemanfaatan waktu selama lockdown semua bergantung pada kita. Akankah waktu kita habis terisi dengan menonton drakor, yang sekarang lagi hits atau kita mau memanfaatkan waktu dengan hal yang lebih bermanfaat.
Bagaimana dengan memaintain khadimah yang bekerja di rumah? Sebelum larangan masuk di kompleks kami diberlakukan, aku membuatkan jadwal harian yang berisi tentang kegiatan yang harus dikerjakan dan membuatkan menu masak harian. Karena selama ini, anak-anak dan suami terbiasa masakan rumah dariku. Jadi aku sangat tahu dengan detil, hal yang masing-masing mereka sukai dan tidak. Aku pun tetap sering berkomunikasi dengan khadimah ini.
23 April 2020, malam ini adalah malam pertama Ramadhan yang harus anak-anak lalui tanpa kehadiran bundanya. Terbayang di pelupuk mata, bagaimana repotnya suami waktu sahur. Membangunkan sahur pada si bungsu merupakan hal yang tidak mudah dan penuh dengan adegan drama. Seringkali aku membangunkannya dengan mencium lalu mengendongnya. Terkadang aku harus menyuapinya. Karena kalau tidak disuapi, saat sahur dia tidak makan apapun. Seringkali dia makan sambil memejamkan mata. Hehehe…. Mungkin bawaan bungsu. Terbayang semua aktivitas tersebut dilakukan oleh imamku dengan sabarnya. Imamku, sosok yang dikirim oleh Allah SWT untuk melengkapiku. Ya Allah, berikan kebajikan dan pahala untuk suamiku selalu…. Doaku lirih sambil menghela nafas dalam-dalam.
Mei, 2020
Tak berasa sebulan penuh kita berpuasa. Puasa tanpa anggota keluarga memberikan kenangan dan hikmah tersendiri. Berbuka puasa yang seringkali aku lalui seorang sendiri membuat rasa sedikit hampa. Kadang aku pun enggan menyiapkan buka puasa dengan hidangan yang beraneka ragam, karena aku pun juga bukan orang yang bisa makan banyak. Hidangan dengan variatif aneka menu baru kumasak saat ada teman berkunjung untuk buka puasa bersama di flatku.
Selama lockdown universitas memberikan paket makanan matang dan mentah sehingga kami tidak perlu kuatir kekurangan makan. Universitas mengeluarkan informasi bantuan untuk biaya internet guna mendukung proses belajar online. Universitas juga membantu memulangkan pelajar-pelajar lokal sampai tujuan, dan membantu kami yang hendak pulang ke negara asal sampai bandara internasional. Bila hal ini terimplementasi di tanah air tercinta, betapa bahagianya..
Saat merefleksi diri, tahun ini mungkin Allah memberikanku kesempatan untuk bisa beribadah full, lebih mendekatkan diri pada-Nya serta memohon ampunan-Nya. Tanpa kita sadar, mungkin kita selama ini hanya mendatangi-Nya di saat lima waktu, bahkan itu pun terkadang sering terlambat. Terkadang pikiran-pikiran lain melintas di saat kita menemui-Nya. Berapa banyak waktu yang berikan untuk-Nya di antara semua waktu yang kita punya. Padahal kita sering meminta apapun dari-Nya. Ya…Allah, sisihkan aral melintang di hadapanku, dan terangkanlah jalan hidupku, serta iringilah kakiku dalam melangkah…
Di tengah kesendirian ini membuatku semakin sadar, bahwa kebersamaan dalam keluarga merupakan hal yang sangat penting, anak-anak merupakan hal yang utama. Mengasuh, membesarkan, melakukan aktivitas rumah tangga demi anggota keluarga merupakan anugerah yang besar, yang Allah SWT berikan kepada kita. Kita diberikan kesempatan untuk menjalankannya. Suatu hal yang kurang tepat, bila kita, para wanita, melakukan aktivitas rumah tangga dan menganggapnya sebagai beban. Seringkali kita mendengar kawan-kawan berkeluh kesah, “Aduh capeknya, ngurus adik belajar, ngurus ini… itu”. Serta banyak lagi curhatan yang lain. Tapi justru itulah serunya, karena tanpa suara-suara, celetukan, ocehan anak-anak, semua sangat jauh berbeda.
Allahu Akbar…. Allahu Akbar…. Allahu Akbar. Allahu Akbar wallillaha ilham. Sayup-sayup kudengar gema takbir. Berbeda dengan suasana di tanah air, malam takbir di negeri ini tak seramai malam takbir di tanah air. Di tanah air, semua orang lebih bereskpresi dalam menyambut hari raya Idul Fitri, baik di pedesaan maupun di kota-kota besar. Mulai dari pasar tumpah, pasar sore, bazar, hiasan, pawai, takbir keliling, arak-arakan, sampai yang mudik ke kampung halaman. Negeri +62 memang lebih meriah. Hal ini wajar karena negara kita berpenduduk muslim terbanyak di dunia, memiliki keanekaragaman budaya dan adat istiadat. Malam takbir kulalui dengan beberapa pelajar internasional muslim yang masih tinggal di flat ini. Beberapa pelajar internasional tampak turun untuk mengambil bingkisan kue lebaran yang dikirimkan oleh salah seorang Dean dan kita nikmati bersama-sama. Tidak banyak pelajar internasional yang berkumpul. Di masa pandemi ini, negara mengeluarkan larangan berkumpul, dan kami sangat mematuhi semua aturan yang ada. Kami tahu dan sangat memahami, semua peraturan yang dibuat untuk kebaikan kami semua, dan kami sudah melihat hasil positifnya saat ini.
Sambil bercengkrama, kami sesekali memperhatikan suasana di luar dari balkon flat. Satu per satu dari kami tampak memandangi lalu lintas sekitar dengan pikirannya masing-masing. Rindu keluarga? So, pasti. Rindu opor ayam, ketupat, ataupun makanan tradisional tanah air? Tentu saja. Aku pun asyik dengan pikiran aku tentang keluarga kecil aku sambil memperhatikan gemerlap kemeriahan kembang api. Pukul 21.00 satu persatu teman pamit undur diri. Tiba lah masa seorang diri di flat ini. Bisa dibayangkan, betapa sunyinya…
Pukul 08.30 gema takbir berkumandang indah dari masjid besar depan flat kami. Kupandangi kubah masjid tersebut. Air mata ini tak dapat ku bendung lagi. Terbayang satu persatu wajah orang-orang yang aku cintai. Almarhum kedua orang tuaku, suamiku serta anak-anak, kakak dan adik, keponakan, abah dan umi, saudara-saudara ipar serta keluarga besar nun jauh disana. Pikiranku semakin jauh melayang ke Masjidil Haram, mungkin terbawa suasana, terbayang sepinya rumah-Mu Yaa Allah, yang biasanya tak pernah sepi dari umat-Mu yang mengharap ridho-Mu. Sampai kapankah pandemi ini akan berakhir? Rasa galau akan pandemi ini kembali menyeruak. Di tengah-tengah isak tangis kuselipkan doa untuk orang-orang yang aku cintai, untuk semua umat muslim, untuk negeriku, untuk dunia ini, dan untuk rumah-Mu Yaa Allah. Isak tangis akhirnya berhenti setelah masjid besar memulai sholat Idul Fitri dan aku mengikutinya serta mendengarkan ceramahnya dari depan flat.
Seperti halnya kegiatan lebaran yang dilakukan oleh keluarga lain, kali ini aku pun mengadakan lebaran virtual dengan anggota keluarga inti, keluarga besar, dan kerabat. Alhamdulillah, Allah masih mempertemukan kami semua dalam kondisi sehat wal’afiat. Saat lebaran virtual bersama, ada berita bahagia, kedua jagoanku bertambah hafalan 1 juz. Mataku berkaca-kaca. Haru. Selama ini mereka rutin mengirimkan setoran hafalan padaku melalui voice note dan mereka tetap rutin melakukannya tanpa kehadiranku di sisinya. Ya Allah anugerah-Mu tidak berhenti datang kepadaku.
Lebaran virtual ternyata tak kalah menyita waktu dibandingkan dengan lebaran pada umumnya, karena terbukti satu hari full aku mengikuti lebaran virtual silih berganti. Alhamdulilah, rasa rindu ini terobati. Lebaran di masa pandemi ini, membuat masing-masing keluarga melakukan berbagai kreasi dalam menyampaikan ucapan lebaran, yang biasanya dari tahun ke tahun didominasi oleh ucapan melalui kartu, atau teks melalui whatsapp dan kartu elektronik. Beberapa bentuk kreasi lebaran di masa pandemi meliputi pembuatan pembuatan foto keluarga, video keluarga yang menggambarkan aktifitas dan kekompakan keluarga, maupun video bernyanyi duet ataupun berkelompok oleh anggota keluarga. Ternyata berlebaran virtual indah juga ya…, so hal ini bisa dijadikan alternatif pengganti mudik di musim lebaran. Berminatkah berkreasi lebaran virtual di tahun yang akan datang? Hahaha…
Juni, 2020
Awal Juni 2020, negara memberikan kelonggaran kepada warga negara. Betapa suka citanya kami. Kami diizinkan berolah raga di taman dengan mengikuti aturan-aturan. Hal ini membuat kami sangat senang. Apalagi melihat tingkat kesembuhan di negeri ini terbilang tinggi dan termasuk negeri terbaik di dunia dalam menangani Covid-19. Saat ini, negeri ini sedang melakukan pemulihan ekonomi. Alhamdulillah, rasa syukur kami ucapkan. Secercah harapan akan kembali hidup normal dan bertemu anggota keluarga mulai terbayang. Kesabaran ini berbuah manis. Semua akan indah pada waktunya. Doa yang sama kupanjatkan untuk negeriku tercinta, Indonesia. Dari laporan hari demi hari, kasus Covid-19 di negeri kita masih tinggi. Bahkan menembus angka 1000. Seandainya…dan seandainya…mungkin tidak akan terjadi. Tetapi dengan kondisi saat ini, dapatkah kita hanya berfikir seandainya…dan seandainya. Marilah kita berbuat apa yang kita bisa kita lakukan demi diri kita, keluarga kita, tetangga kita, lingkungan kita, kerabat yang kita kenal maupun orang lain. Hilangkan semua ego serta kepentingan pribadi. Saatnya bahu membahu. Pemerintah memiliki peranan yang sangat penting dalam membuat kebijakan dan solusinya, serta bersikap tegas. Sebaliknya, masyarakat pun memiliki peranan yang tak kalah pentingnya, yaitu sikap untuk patuh, memiliki kesadaran diri, dan sabar. Tanpa peran keduanya, wabah ini akan sulit diatasi. Bukankah kita ingin cepat kembali dalam kondisi normal???
Tentang Penulis:
Dien SA dapat dihubungi via pos-el: indahdl2005@yahoo.com
Sumber: gambar depan dari internet