oleh: Dewi Cahya Ambarwati
“Uhuk..uhuk..uhuk…”
Mak deg! Aku terhenyak. Berusaha menutupi panik yang datang tiba-tiba. Dalam hati, “Loh kok dia batuk? Kok kelihatan nggak sehat? Jangan-jangan dia kena.” Pikiran dan tubuhku waspada.
Senin pagi jam 6. Tanggal 23 Maret 2020. Aku sudah sampai di depan sebuah rumah. Aku tidak turun, pun mesin mobil tidak kumatikan. Aku menunggu. Tidak lama pintu rumah terbuka. Tampak seorang pria menggendong bayi laki-laki yang masih berusia 5 bulan. Kubukakan pintu mobil dan bayi itu langsung berpindah tangan kepangkuanku. Pria itu sibuk memasukkan barang-barang ke dalam mobil. Hanya lima menit. Setelah itu, dia masuk mobil dan memangku si bayi. Aku langsung tancap gas, pulang. Membawa saudaraku, Sunu, dan anaknya, Arka, menuju rumahku. Aku sulit menenangkan pikiran yang berkecamuk. “Duh Gusti, Eri masih kecil, bagaimana kalau kami tertular”.
Yanti, ibunya Arka seharusnya menjadi PDP, pasien dalam pengawasan. Tetapi dia menolak dan meminta untuk isolasi diri di rumah selama 14 hari. Jadilah dia sebagai seorang ODP, orang dalam pengawasan. Meski hasil tes negatif, bercak putih seperti kabut dalam paru tampak dari foto rontgen. Demam dan batuk tak henti. Ia mengalami gejala pneumonia. Gejala yang dikaitkan dengan Covid-19. Dan, bukan suatu keputusan yang mudah untuk berpisah dengan anaknya yang masih ASI. Namun, demi kebaikan bersama katanya, itu harus dilakukan.
Selama perjalanan, perasaanku sudah tidak nyaman. Aku curiga Sunu juga mengalami gejala awal Covid. Tidak ada informasi sebelumnya. Yang kutahu hanyalah dia dan Arka sehat, negatif. Ternyata aku salah. Sejak Covid merebak di Indonesia, tiap dengar ada suara batuk, hatiku mencelos. Baiklah, mulai hari ini sampai dua minggu ke depan, aku, suami dan anak laki-lakiku yang masih berusia dua tahun satu bulan hidup bersama ODP dan terpaksa menjadi ODP. Di kala masyarakat belum sepenuhnya paham akan Covid dan bagaimana penanganannya secara medis maupun sosial, situasi ini membuat psikologisku tidak nyaman dan waspada tingkat dewa. Namun, tidak bisa kuutarakan karena harus ‘terpaksa’ tampak bahagia, supaya tetap sehat. Aku harus jauh dari stres, dengan begitu ASI-ku akan tetap lancar.
Sampai di rumah, aku memasukkan tujuh 7 botol ASI perah atau ASIP yang dibawakan Yanti kedalam freezer. Melihat isi freezer-ku yang penuh botol ASIP, pikiranku melayang kebelakang. Sebelumnya, ada beberapa orang yang menanyaiku, ada yang sekedar bertanya dan ada yang cenderung menyarankan untuk menyapih Eri karena sudah dua tahun, sudah besar. Bahkan ada yang berpandangan bahwa si anak akan malu jika masih menyusu. Ada juga yang menyarankan supaya aku memberikan susu formula (sufor) untuk Eri. Bahkan ada yang langsung menjustifikasi bahwa ASI-ku sudah tidak lagi baik ataupun enak. Aku yakin bahwa semua ASIP-ku itu pasti bermanfaat, entah untuk apa atau siapa. Siapa sangka kalau Covid akan masuk negara ini, dan semua orang harus menjaga kesehatan. Termasuk Eri dan Arka. Aku ingat seseorang mengatakan bahwa seorang ibu harus percaya diri akan kemampuannya memproduksi ASI. Dengan demikian, ASI akan bancar dan lancar. ASIP-ku masih ada 45 botol lebih. Cukup untuk Arka selama sembilan hari. Sehari Arka bisa menghabiskan 5-6 botol. Hatiku sedikit tenang.
Pada hari pertama Arka di rumah, dia menangis. Kuberikan payudaraku untuk menenangkannya. Tapi Arka menolak. Aku mengambil ASIP dan menghangatkannya. Sunu meminta sendok kecil. Sunu bersikeras tidak mau kuberi botol dot karena istrinya melarangnya. Menyadari bahwa menyuapkan susu dengan sendok butuh efforts lebih dan Arka sendiri ingin segera minum banyak, Sunu akhirnya meminta botol dot milik Eri yang semula ditolaknya.
“Na, tolong mana dotnya,” pinta Sunu. “Ya, tunggu, kucuci dulu,” jawabku. “Aku ki yo ngga suka botol dot. Tapi ada kondisi-kondisi tertentu di mana dot berguna, praktis dan cepat. Aku hanya bisa berdoa supaya anakku ora bingung puting. Jadi kalau menyusu langsung tetap mau. Bismillah, kamu ya berdoa. Sekalian berdoa jika nantinya bertemu ibunya, Arka mau menyusu,” lanjutku sembari mengeringkan dot. Alhamdulillah, Arka mau minum dari dot kecil itu.
Malam hari, waktu yang dikhawatirkan. Arka sulit tidur. Aku tahu dia menginginkan emak-nya. Aku pun terbangun beberapa kali. Selain karena Eri ingin menyusu juga karena dengar tangisan Arka. Aku jadi teringat masa-masa bayi Eri, seolah-olah antena kepalaku selalu berdenging karena merasa menangkap suara Eri atau dirasa suara Eri. Aku prihatin dan trenyuh melihat Arka si pejuang kecil itu. Senjata dot tidak selalunya berhasil. Sunu lantas menggendong dan berjalan-jalan di dalam kamar dan ruang lain supaya Arka tertidur kembali. Sunu kelihatan lelah. Hari pertama yang berat untuk Sunu. Aku tersadar kami tidak bisa menjaga jarak dengan Sunu dan Arka. Kami serumah. Kami bersinggungan. Yang membedakan, Sunu ber-masker karena sakit, kami tidak.
Sunu kewalahan mengatasi Arka. Dari urusan ASIP, memandikan, bermain, menangani tangisan, sampai menidurkan bayi. Dia hanya bilang, “Lha yang ngurusi banyak ibunya. Aku cuma bantu kalau disuruh”. Rumahku benar-benar meriah! Keprihatinanku bertambah melihat Sunu sendiri masih harus berjuang untuk sembuh dari sakitnya dan butuh istirahat banyak. Dari sariawan besar, demam, batuk, kedinginan, lemas, sampai indera perasa lemah. Semua tanda-tanda Covid yang kuketahui dari medsos ada padanya. Tetapi dia selalu mengelak dengan alasan karena kehujanan dan kecapekan. Suatu siang Sunu minta dikeriki dipunggungnya. Aku tidak langsung mengiyani. Berpikir.Aku akan menyentuh kulitnya, kalau aku tertular bagaimana? Ya Allah, sluman slumun slamet. Aku terus berdoa Covid tidak mampir ke rumahku.
Sembari ngeriki Sunu, aku merenung. Berusaha mengerti keadaan. Urip iku urup. Harus dilakoni. Kukira ini memang saat aku diberi ujian untuk kesabaranku, keikhlasanku dan introspeksi diri. Aku harus berdamai dengan diri sendiri dan menerima situasi ini. Bukan berprasangka, tapi memberi dan membersamai. Kekalutanku sebetulnya karena aku tidak tega melihat Arka yang harus pisah dari ibunya. Lalu, ketakutanku jika kami akan tertular Covid yang kemungkinan dibawa Sunu.
Selasa pagi. Arka sudah bangun. Kugendong dia dan kuajak jalan-jalan di dalam rumah. Tidak lama, Eri keluar kamar dan melihat kami. Eri menghampiri dan ingin menyusu. Sambil memangku Arka di sebelah kiri, Eri menyusu di sebelah kanan. Arka melihat Eri. Saat itulah aku merasa sangat bahagia sebagai seorang ibu. Arka ikut menyusu. Kurasakan sensasi aneh tapi penuh berkah menyusui dua anak sekaligus.
Delpan tahun aku menunggu Eri dan tidak berani meminta lagi kepada Yang Kuasa. Tanpa kuminta, seorang bayi datang ke rumah dan mau kususui. Aku percaya ini semua rencana Tuhan. Meskipun Arka jauh dari ibu kandungnya, tapi aku mendapat kesempatan untuk menjadi “ibu sementara” untuknya. Senang, terharu. Siapa sangka aku mendapatkan rejeki yang sedemikian besarnya. Arka mengenal bauku. Ketika menyusu, mata kami saling berpandangan. Terkadang dia tersenyum sendiri. Tangannya mengelus tubuhku dan menarik bajuku. Eri pun belajar berbagi. Dia berbagi Ibu, susu, dan mainan dengan Arka. Eri belajar menyayangi Arka, terkadang mengelus tangan atau kepalanya. Arka juga merespon Eri dengan caranya.
Aku bersyukur Arka tidak terhalangi haknya untuk mendapatkan ASI ekslusif-nya. Dia menyusu langsung kepadaku dan pakai dot. Meski terkadang Arka tertidur setelah kususui tapi dia dia kembali terbangun beberapa saat setelah diletakkan dikasur. Saat itu pula Sunu mengambil alih dengan menidurkan sambil berdiri. Pagi, siang, sore ataupun malam seperti itu jika Arka mau tidur. Wandi juga turut membantu mengasuh Arka tanpa diminta, menggendong, mengajak ngobrol dan memarahi Arka jika sudah keluar rewelnya. Di beberapa pagi atau sore, Wandi mengajak Eri dan Arka berjalan-jalan. Suatu pagi dikasur Wandi terucap, “Begini to rasanya punya dua anak”. Aku hanya tertawa mendengarnya. Kulihat Sunu juga belajar dari situasi ini. “Aku tu cuma pegang Arka, tidak mengerjakan hal lain. Tapi aku sudah merasa capek. Tidak apa-apa kalau harus begini. Nanti aku pulang, aku sudah tahu harus bagaimana. Aku sudah bisa menggendong Arkan dengan satu tangan, tangan lain untuk urus ASI. Dot ini kubawa pulang ya”.
Kami tinggal di suatu perkampungan di Jogja bagian timur, bukan di kota. Satu dengan yang lain berelasi secara komunal. Jika tampak ada yang berbeda dari suatu keluarga atau rumah, beritanya akan cepat menyebar. Dengan atau tanpa klarifikasi. Ketika Sunu dan Arka berjemur di depan rumah, tidak sedikit orang kampung berlalu-lalang. Keberadaan mereka mengundang tanya warga sekitar. Ada pagi ketika aku berjalan pagi dengan Eri, ada tetangga yang menyapa dan menanyakan, “Mbak Ina, itu siapa yang berjemur di depan rumah?” Ya, aku jelaskan saja siapa mereka dan mengapa di rumah kami.
Grup medsos Whatsapp bapak-bapak RT pun bergemericik riuh. Wandi tergabung dalam grup itu tapi lebih banyak diam. Beberapa warga mempersoalkan Sunu dan Arka. Entah darimana informasi yang didapat, kedua tamu kami dianggap datang dari luar kota dan harus segera menyerahkan Surat Keterangan Sehat atau surat yang menyatakan bahwa mereka negatif Covid dari Puskesmas terdekat. Namun, tidak ada dokumen semacam itu, yang ada hanyalah nota pembayaran periksa di rumah sakit, begitu kata Sunu. Tak lupa mereka harus berdiam di dalam rumah, tidak keluar. Kami dicurigai. Wajar memang karena pada saat itu sudah muncul istilah carrier atau pembawa dibanyak pemberitaan media. Orang yang sehat tetapi membawa virus. Isu lockdown kampung juga menghangat. Covid tidak nampak dan dianggap asing sehingga orang asing (bukan warga kampung) dilarang masuk. Akhirnya, Wandi membawa serta nota itu dan menuju ke rumah Pak Dukuh. Alhamdulillah Pak Dukuh dapat menerima penjelasan Wandi dan mengetahui bahwa tamu kami dari Jogja. Rumahnya hanya berbeda kalurahan, bukan luar kota dan masih bersaudara.
Masalah lain muncul. Arka batuk. Wah, aku langsung waspada. Segera kusampaikan Sunu untuk “menggempurnya” dengan ASI dan tetap berjemur. Batuk Arka hilang setelah 3 hari tapi Wandi menyusulnya. Selang 3 hari, Eri ikut batuk. Eri sembuh setelah 3 hari tapi batuk Wandi masih tersisa. Terasa sesak dihati, “Kenapa masih ada batuk?”. Aku hanya berdoa supaya kami dijauhkan dari Covid, itu saja. Aku betul-betul seperti mandor kata Sunu dan Wandi. Aku tak segan meneriaki semua orang di rumah untuk mengingatkan mereka supaya cuci tangan dan kaki, mandi, berjemur, makan, minum empon-empon, tidur, minum vitamin dan obat bahkan bersih-bersih. Hal-hal kecil menjadi penting dan kujadikan masalah.
Pada hari kesembilan, aku ke rumah Sunu, mengantar botol-botol kosong untuk ASI dan balok es serta mengambil ASI perah Yanti. Sesampainya di sana, aku menunggu di dalam mobil. Aku keluar meletakkan satu tas besar dikursi plastik depan pintu. Lalu aku menjauh. Kulihat dia keluar dan mengambilnya. Tak berselang lama, dia keluar lagi dan meletakkan tas itu yang terasa lebih berat diposisi yang sama. Aku mengambilnya dan segera berlalu dengan mobilku. Aku tahu Yanti kesepian tapi dia harus dimotivasi supaya cepat sembuh.
Tak terasa sudah 2 minggu. Awalnya terasa berat, tapi tiba-tiba kebersamaan dengan Arka harus berakhir.
Hari minggu, 5 April 2020 setelah zuhur, kami mengantar Sunu dan Arka pulang ke rumahnya. Usai sudah isolasi mandiri Yanti diakhiri periksa terakhir di rumah sakit. Berakhir pula statusku sebagai “ibu sementara” bagi Arka meski aku akan tetap menjadi “ibu susu-nya” sampai kapan pun. Kususui dia dalam perjalanan untuk terakhir kalinya. Kumenangis lirih, “Sehat bahagia selalu ya Nak”. Kudengar dari Yanti dan Sunu, mereka sepakat berbagi tugas dengan porsinya masing-masing. Arka sudah ingat ibunya dan mau menyusu. Yanti mau menerima dot yang dibawa Sunu untuk digunakan Arka untuk saat-saat tertentu. Kalau teringat ucapan Sunu padaku sebelumnya, aku merasa geli. Sunu bilang setiap kali berkomunikasi dengan Yanti, dia tidak pernah mengatakan kalau dia pakai dot untuk menyusui Arka. Dot itu disembunyikan dibalik bantal. Katanya, “Yanti harus paham apa itu emerjensi!”.
Aku yakin masing-masing dari kami belajar dari pandemi ini meski tak terartikulasikan. Tetap ada yang patut kita disyukuri. Kita masih hidup, masih bernafas. Mungkin seperti ini cara Tuhan mengingatkanku akan kehidupan, bagaimana menjadi seorang Ibu dan arti sebuah keluarga. Tuhan ada di mana-mana jika kita bersyukur. Sekali lagi, urip iku urup, hidup itu tetap menyala. Hidup tidak untuk diri sendiri tapi juga untuk orang lain. Pandemi ini juga suatu bentuk kehidupan di mana masih ada kehidupan-kehidupan lain untuk dijalani.
Yogyakarta, 10 Juni 2020
-Jumina-
Tentang Penulis:
Dewi Cahya Ambarwati adalah perempuan Jawa yang lahir dan besar di Yogyakarta. Menyelesaikan ketiga jenjang studi di UGM dan aktif sebagai staf pengajar di Departemen Bahasa, Seni dan Manajemen Budaya, Sekolah Vokasi UGM. Senang menari klasik, travelling, nonton film dan menikmati misteri memasak. Ber-semangArts di komunitas seni dan budaya. Penulis dapat dihubungi melalui pos-el gjogja@gmail.com
Sumber: gambar depan dari internet