Universitas Gadjah Mada Writing for Healing
  • BERANDA
  • TENTANG
  • KISAH
  • VIDEO
  • Beranda
  • Kisah
  • PUTRAKU YANG TERPILIH

PUTRAKU YANG TERPILIH

  • Kisah
  • 16 April 2021, 12.35
  • Oleh: sitiqotijah2018
  • 0

oleh: Azmia Naufala Zahra

Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, Covid-19 ini akan menyerang anak kami tercinta. Menjadi sebuah kasus pertama yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan sebuah hal yang di luar batas pemikiran saya.

“Seorang balita laki-laki 3 tahun positif Covid-19, yang merupakan kasus pertama di Daerah istimewa Yogyakarta” 

Sepenggal kalimat diatas, saat itu telah menjadi headline utama di berbagai media sosial, televisi dan laman berita online. Di mana, Daerah Istimewa Yogyakarta telah di “geger” kan dengan adanya kasus positif untuk pertama kalinya. Sedih dan hancur begitu membuka media sosial berita ini selalu muncul, di tambah lagi melihat anak kami yang masih terbaring lemah di tempat tidur ruang isolasi.

Saat itu, saya benar-benar miskin ilmu tentang Covid-19 ini. Bahkan saya tidak tahu bagaimana virus ini bisa menular ke orang lain, dan bagaimana bisa anak saya terkena karena adanya riwayat perjalanan dari Depok, Jawa Barat. Pada waktu itu, memang saya sangat membatasi sekali berita mengenai Covid-19 ini. Bukan berarti saya tidak peduli, tetapi karena saya beranggapan bahwa virus ini tidak akan mungkin sampai di Indonesia. Namun, anggapan saya salah dan betapa shock nya saya ketika kami sekeluarga sedang berada di Depok, Jawa Barat di mana kasus pertama di Indonesia berada di sana. Bukan sebuah kebetulan, namun ini semua sudah diatur oleh yang Maha Kuasa.

Covid-19 ini memang bukanlah sebuah aib, dan bukan pula suatu kesalahan besar yang kami buat. Tapi, mengapa kami yang berstatus mantan PDP, ODP bahkan pasien positif bisa menganggap ini adalah sebuah aib? Seolah-olah kami telah melakukan kesalahan yang besar, dan menyebabkan kami harus menutup segala akses informasi mengenai ini semua. Jawabannya, karena kami tidak ingin dan tidak siap menerima stigma negatif yang muncul di masyarakat tentang kami dan keluarga. Kenyataannya, meski kami menutup rapat akses informasi, masih saja banyak sekali dari mereka yang ingin tau tanpa ada rasa simpati dan mengucilkan bahkan menjadikan kami bahan pembicaraan.

Berada selama 10 hari di ruang isolasi bersama anak dan suami menjadi suatu hal yang sangat mencekam. Tidak mudah bagi kami melewati hari-hari di ruang isolasi tersebut. Setiap hari kami merasa khawatir, cemas, tertekan dan perasaan tidak nyaman lainnya. Kami merasa 1 hari yang kami lewati di sana begitu terasa lama dan berat. Saat membuka mata di pagi hari, tidak lupa kami selalu mengucap syukur kepada Allah yang masih memberikan kami kehidupan dengan kondisi yang lebih baik. Belum lagi, setiap 3 hari sekali kami harus melihat anak kami menangis ketakutan dan kesakitan saat infus dipindahkan dari tangan kiri ke kanan dan juga dilakukannya tes swab. 

Hati ibu mana yang tidak hancur melihat anaknya ketakutan dan bahkan kesakitan. Tangan kecilnya harus rela di suntik untuk di pasang infus, diambil sampel darahnya, hidung dan mulutnya juga harus rela dimasukkan benda seperti cotton bud panjang untuk diambil sample lendir dan dahak. Kami harus tetap kuat untuk terus berjuang demi kesembuhan anak kami, belum lagi kami juga harus berjuang melawan diri sendiri. Meski di luar sana banyak yang mengucilkan dan menekan kami, tapi kami selalu mendapatkan dukungan yang sangat luar biasa dari keluarga. Hal itu lah yang membuat kami selalu semangat untuk terus berjuang. Para dokter dan perawat juga menjadi alasan kami untuk berjuang dan tetap semangat, karena mereka telah merawat dengan sepenuh hati sampai anak kami dinyatakan sembuh dari Covid-19 ini. 

Dalam ruangan isolasi yang kurang lebih berukuran 3×4 meter, dengan fasilitas kamar mandi dalam, air conditioner, dan sirkulasi udara, di sanalah saya dan suami banyak sekali merenungkan segala hal yang telah terjadi. Kami saling menguatkan, dan lebih mendekatkan diri pada sang pencipta. Apapun sikap orang terhadap kami di luar sana, kami tidak peduli, meskipun jauh di lubuk hati kami paling dalam kami merasa tertekan dengan sikap dan tutur kata mereka. Kami sadar, mereka bebas untuk berpendapat dan berasumsi tentang kami dan keluarga. Namun, alangkah baik nya untuk lebih bisa menempatkan dan mengontrol perbuatan serta lisan agar tidak ada yang tersakiti. Memang tidak bisa dipungkiri rasa panik dan takut tertular masyarakat membuat mereka bersikap demikian. Bagaimanapun, kami tidak memilih untuk diberikan ujian ini. Kami hanya butuh support dan doa yang tulus pada waktu itu. 

Jika melihat apa yang telah terjadi sampai detik ini, saya masih belum bisa percaya dengan apa yang telah terjadi. Berada pada titik paling bawah dalam kehidupan saya, namun banyak sekali berkah yang saya rasakan dari itu semua. Mental saya sangat down, merasa trauma dan tertekan dengan keadaan pada waktu itu. Bahkan dari segi ekonomi pun kami mengalami penurunan. Tapi, saya yakin bahwa kami tidak sendirian mengalami ini semua, banyak yang terdampak akibat covid-19 ini. Bersyukur Allah masih memberikan kami kehidupan dan bisa berkumpul lagi dengan keluarga tercinta. Kemudian, bersyukur lagi karena Allah masih memberikan pekerjaan kepada suami saya, meski gaji harus dipotong dan THR kala itu tidak turun, tapi setidaknya suami saya masih mempunyai pekerjaan tetap sehingga bisa menafkahi keluarga kecil kami ini. Banyak sekali hikmah dibalik ujian yang telah kami lalui kemarin. Kami akan terus saling menjaga satu sama lain dan terus saling menguatkan.

Sekarang, sudah 3 bulan semua telah berlalu. Pandemi ini masih saja belum berakhir, dan kami harus selalu siap dengan kehidupan yang terus mengalami perubahan kedepannya. Setelah melalui semuanya, kami menjadi lebih teredukasi mengenai Covid-19 ini. Menjaga kebersihan, asupan gizi, olahraga dan berjemur dibawah sinar matahari masih terus kami lakukan sampai saat ini. Anak kami jauh sudah sehat seperti sedia kala. Sudah aktif bermain, belajar dan melakukan segala aktifitas di rumah. Meskipun kadang ada kebosanan dalam dirinya, tapi anak kami paham bahwa harus tetap berada di rumah dalam kondisi yang seperti ini. 

“Di luar ada corona ma, jadi tidak boleh keluar rumah dulu ya, kalau mau keluar harus pakai masker dan tidak boleh dekat-dekat ya ma?” 

Begitu kira-kira kata-kata yang muncul ketika kami memberikan penjelasan tentang covid-19 ini. Ketika saya harus ke pasar ataupun supermarket, seringkali dia mengingatkan saya untuk selalu memakai masker dan berhati-hati. Melihatnya sehat, serta tumbuh dan berkembang dengan baik memberikan kebahagiaan tersendiri bagi kami. Bersyukur kami masih bisa menikmati kehidupan ini meski banyak sekali rintangan yang kami lalui.

Memasuki fase new normal yang sebentar lagi akan kita jalani, masyarakat tentunya harus terus menjalankan pola hidup bersih dan sehat, memakai masker dan cuci tangan dengan sabun. Kurangi keluar dari rumah jika tidak dalam kepentingan yang mendesak. Fase new normal yang segera akan kita jalani ini harus benar-benar kita jalankan sebaik mungkin, namun tetap waspada serta berhati-hati. Di samping itu, bagi kami new normal tidak hanya harus mematuhi segala aturan yang sudah ada tersebut, tapi juga bagaimana kami bisa diterima di masyarakat tanpa ada lagi stigma negatif yang terlabel pada diri kami dan keluarga. Walaupun rasa percaya diri pada diri kami banyak berkurang, kami harus tetap bisa melawan demi kelangsungan hidup yang lebih baik ke depannya.

Lewat tulisan ini, saya berharap kita semua bisa saling support dan menguatkan, agar rercipta sikap yang saling menghargai satu sama lain sehingga tidak ada lagi yang merasa tersakiti. Saya yakin tidak ada yang ingin berada dalam posisi dan kondisi seperti yang saya alami ini. Agar mereka juga tidak merasakan betapa mencekam berada di dalam ruang isolasi dengan kondisi mental hancur karena tekanan dan stigma negatif yang kami terima. Segala ujian yang telah kami lewati sungguh menyesakkan dada, mengaduk-aduk emosi serta menguras segala energi, hati dan pikiran kami. Kami sadar, bahwa kami harus bangkit dari keterpurukan yang kami alami agar semua kembali seperti sedia kala, yang pada akhirnya memberikan kami pelajaran yang berharga untuk menjadi manusia yang selalu bersyukur dalam keadaan apapun. Segala perkataan dan sikap yang kurang baik dari masyarakat kami terima dengan lapang dada dan ikhlas. Kami sangat memahami, memaklumi bahkan telah memaafkan apapun yang telah mereka perbuat. Semua ini mengajarkan kami untuk selalu bersandar dan mendekatkan diri pada Allah. Sehingga kami bisa tetap melangkah dengan tegap, kuat dan kokoh menjalani kehidupan selanjutnya.

Terlepas dari itu semua, kehidupan ini tetap akan terus berjalan tanpa memandang apa yang sedang terjadi. Tujuan kita sama, masih harus berjuang melawan Covid-19 ini, sehingga pandemi ini segera berakhir. Saya ataupun mereka yang telah menjadi korban dari Covid-19 ini tidak memilih untuk berada dalam kondisi yang demikian. Semoga Allah segera mengangkat Covid-19 dari muka bumi ini.

Tentang Penulis:

Azmia Naufala Zahra, lahir di Yogyakarta, September 1992. Merupakan anak kedua dari lima bersaudara.

Menempuh pendidikan terakhir di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial. Saat ini kesibukan yang ada sebagai ibu rumah tangga dengan satu putra yang berumur 4 tahun pada bulan Mei 2020 Selain menjadi ibu rumah tangga, juga membuka usaha makanan online, sesuai dengan hobi yang dimiliki, yaitu memasak. Ia dapat dihubungi via pos-el: azmianz92@gmail.com

Sumber: gambar depan dari internet

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Recent Posts

  • WfH
  • TEGAR
  • SEPENGGAL KISAH Ph.D. SELAMA PANDEMI COVID-19
  • IMAN DAN IMUN
  • AKU DAN ANAKKU

Archives

  • May 2021
  • April 2021
  • October 2020
  • September 2020
  • August 2020
  • July 2020

Categories

  • About
  • Edukasi
  • Guest Writers
  • Kisah
  • Kisah2
  • kisah3
  • Video
Universitas Gadjah Mada

Tim Pengabdian Sekolah Vokasi,

Universitas Gadjah Mada

Gedung Iso Reksohadiprodjo, Sekip Unit 1,

Caturtunggal Depok, Sleman, Yogyakarta 55281

       wfh.sv@ugm.ac.id

       0274-541020

 

 

  • Tentang Kami

Informasi

© 2020 Writing for Healing

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY