Sejak diumumkan kasus COVID-19 pertama di Indonesia, situasi sosial dan ekonomi negeri guncang. Panic buying, penimbunan oleh spekulan, dan kurangnya kebutuhan penting penanganan wabah menjadi hal yang menghiasi media massa hingga obrolan antar tetangga. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tiba-tiba harus menghadapi situasi tak terduga karena virus yang berasal dari Wuhan menyasar ke berbagai lini. Meski kedua penyelenggara kekuasaan tersebut tetap bertanggungjawab akan situasi ini tetapi keadaan di lapangan yang sering tak terduga turut membuat banyak kendala.
2020
Pada masa pandemi COVID-19 ini saya tidak memiliki kisah yang sangat spesial. Saya kilas balik aktifitas saya mulai awal Virus ini muncul di China, hingga kasus positif pertama di Indonesia, 2 Maret 2020 hingga sekarang saya menulis artikel ini. Sulit bagi saya menemukan apa kisah menarik saya dalam masa pandemi ini. Saya adalah Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bekerja di kantor Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Kabupaten Lumajang. Selama masa pandemi, kantor saya mengalami penyesuaian waktu bekerja. Perubahan (pengurangan) jam kerja membuat saya memiliki waktu luang. Hal ini saya manfaatkan untuk menulis beberapa artikel karena menulis adalah kegemaran saya. Salah satu artikel saya berjudul “Pandemi dan Tren teleconference” dimuat oleh media online nasional (detik.com) pada halaman kolom https://news.detik.com/kolom/d-4974952/pandemi-dan-tren-teleconference Beberapa artikel lainnya dimuat dikoran lokal (Radar Jember), media online (pwmu.com), Majalah Suara PGRI Kab. Lumajang, dan beberapa blog lainnya.
oleh : Rasya Swarnasta
i.
Pada tanggal 26 Maret 2020, jumlah pasien positif terjangkit COVID-19 mencapai 893 jiwa. Saat itu, rasa takut apabila jumlahnya mencapai empat digit masih mengekor ke mana pun aku melakukan aktivitas di rumah. LINE OpenChat yang mewadahi informasi tentang virus ini terus-terusan membanjiri ponselku dengan notifikasi. Hari itu, seruan-seruan yang tak henti-hentinya digaungkan adalah imbauan untuk tetap di rumah, tetap di rumah, tetap di rumah. Kurva harus dilandaikan untuk meringankan beban tenaga dan peralatan medis agar dapat memfasilitasi semua orang, jadi tetaplah di rumah.
Tiba juga pada pemberhentian frasa yang diagungkan sebagai New Normal. Setelah turun dari motor di depan sebuah siku pasar Kota Budaya (Yogyakarta) aku dapati derai suara ibu-ibu penjual bawang putih plastikan bersama rekan sejawatnya penjual jamur tiram kiloan. Sepertinya mereka telah lama tidak saling bersua, ibu penjual bawang putih itu menepuk beberapa kali punggung temannya dengan kipas bambu miliknya.
“Yu! Pie kabarmu? Eh! Ngesok ojo lali nggowo masker!” terang penjual bawang putih.
“Mengko nak ono petugas opo uwong sing ngenehi!” dengan santai penjual jamur tiram itu menjawab.
Minggu, tanggal 22 April 2020, tanggal yang tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku. Bukan karena itu tanggal pernikahanku, tapi tanggal dimana aku diminta untuk melakukan isolasi mandiri. Yah, di tanggal itu aku dinyatakan sebagai Orang Dalam Pengawasan atau bahasa kerennya ODP. Oh ya, perkenalkan namaku Suci, aku seorang ibu rumah tangga, aku tinggal di salah satu perkampungan di kabupaten Sleman. Aku salah seorang ODP Covid 19 (Corona Virus Diseases 19). Covid 19 memberikan kisah tersendiri untuk setiap orang termasuk aku. Awalnya aku tidak menyangka seorang ibu rumah tangga bisa menjadi ODP Covid 19.
Nyaris gelap, belakangan ini bukan karena matahari meredup di Kota Surabaya, melainkan lampu kamarku yang belum dinyalakan. Gawaiku tiba-tiba cerah berdering. Seketika aku terbangun, meraih gawai tua itu di atas meja mungil di pojokan kamar kosanku yang kecil. Bagiku notifikasi ini tak asing, benar saja sebuah pesan WhatsApp masuk tak lama setelah beberapa hari ini disibukkan dengan realita laporan praktikum yang membuat pikiranku semakin pening. Betapa tidak, dampak pendemi Covid-19 ini membuat semua lapisan masyarakat dibuat pusing, tak luput juga mahasiswa awal sepertiku. Presentasi yang seharusnya dilakukan di UGM, kini harus terhenti sementara waktu hingga situasinya Covid-19 mereda. Kampus mau tidak mau memberlakukan kebijakan “Lockdown” sembari mengarahkan mahasiswanya berkuliah daring dari rumah masing-masing.
Siapa yang bisa membantu ketika situasi seperti ini terjadi? Di dalam rumah begitu senyap, hingga suara detak jam terdengar begitu jelas menggema dalam ruang. Tidak hanya penunjuk waktu, beberapa alat elektronik yang sedang beroperasi juga mendekati makna ‘kehidupan’ di dalam rumah. Lantas bagaimana dengan kehidupan makhluk hidup yang ada di dalamnya?
Mereka ada di setiap ruang. Dua di antara lima jiwa, duduk berhadapan di ruang tengah. Masing-masing dari mereka sibuk dengan kegiatannya masing-masing, tanpa adanya sapaan maupun gurauan di antara mereka. Tiga jiwa lainnya berada di ruang tersendiri, dengan kesenangan pribadi mereka. Potret kehidupan seperti itu terjadi saat pandemi COVID-19 tengah mewabah.
Ani, demikian orang-orang memanggil diriku, sebuah nama panggilan kecil yang jauh lebih mudah diucap dibandingkan nama lengkapku. Sejak satu setengah tahun lalu, aku menjadi istri dari seorang pengajar pada perguruan tinggi swasta di Jakarta. Sejak November tahun lalu juga aku telah menjadi seorang ibu bagi seorang anak laki-laki yang tampan dan lucu, dialah buah hati yang lahir dari pernikahan kami setelah menunggu 2 bulan kehadirannya sebelum ada di rahimku.
Sebagai sebuah keluarga kecil saat ini, aku dan suamiku tinggal jauh dari orang tua masing-masing, kami memiliki keramaian dunia kami sendiri. Peranku sebagai ibu rumah tangga tidak jauh berbeda dengan ibu rumah tangga pada umumnya. Aku memulai hari-hariku sebelum waktu Subuh tiba untuk menyiapkan sarapan dan melepas suamiku berangkat bekerja dari balik pintu rumah kami, melihat punggung suamiku yang siap menempuh perjalanan jauh untuk tiba di tempatnya bekerja. Sebagai salah satu pekerja laju yang hampir setiap hari memanfaatkan moda kereta rel listrik (KRL) Bogor-Jakarta, suamiku memilih untuk berangkat lebih pagi sebelum moda tersebut menghadapi jam-jam terpadatnya.
Assalamu’alaikum, hai namaku Ismy. Salah satu dari ratusan siswa yang merantau ke Jogja demi mengenyam majunya dunia pendidikan. Aku tinggal di kos selama bersekolah di SMA Muhammadiyah Dua (Muha) Jogja dan pulang kampung setiap liburan semester tiba. Entahlah, aku bingung harus bersyukur atau prihatin atas situasi pandemi Covid-19 yang tengah menjadi masalah global. Aku prihatin karena pandemi ini memakan banyak korban, merubah segala lini kehidupan serta menguras pikiran serta tenaga banyak pihak. Setiap orang diharuskan mematuhi protokol pencegahan Covid-19 dengan mengenakan masker, menjaga jarak, rutin mencuci tangan serta memperkuat sistem imun tubuh. Yahh itulah sekilas soal Covid-19, selanjutnya aku akan menceritakan pengalamanku. Semoga kalian betah membacanya..
oleh: Erna Yulida
Tiba-tiba hatiku terasa perih, nafasku terasa pendek dan mataku berair melihat mereka, anak-anak tenaga kesehatan yang positif COVID-19 yang harus menjalani pemeriksaan rapid test karena ibunya terpapar.
It is always hard, when your best friends have to endure this pain.
It is always painful, but we have to move on and keep giving the best services.
Aku adalah seorang dokter Puskesmas di pulau Kalimantan. Saat aku menulis ini, Puskesmas tempatku bekerja adalah salah satu dari lima Puskesmas di kabupatenku yang terdampak COVID-19. Tenaga kesehatan satu-persatu mulai terpapar. Akhirnya, COVID-19 menjadi bahaya nyata bagi kami di daerah terpencil pulau Kalimantan.